Comments

Vonis Tak Berefek Jera

Posted by at 02.29.00 Read our previous post

Pintu Hukum Sanksi Berat Terbuka Untuk Kasus Vaksin

Jakarta - Ramainya kasus vaksin palsu saat ini belum jelas akhirnya akan seperti apa. namun, dari sisi penegakan hukum selama ini, vonis hukuman terkait pelanggaran produksi dan distribusi obat, obat tradisional, kosmetika, dan pangan olahan masih sangat lemah.

Hukum kepada para pelaku terlalu rendah, bahkan bisa dikatakan tak memberikan efek jera. " Pemalsuan dan perdagangan obat palsu kian marak," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Internasional Pharmaceutical Manufacturer Group Parulian Simanjuntak, di Jakarta. Hal sama dikatakan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi.

Salah satu alasan kuat mengapa pemalsuan obat, termasuk vaksin, bisa bertahan lama ialah penegakan hukum lemah dan vonis hukuman yang sangat ringan. Selain itu, pengungkapan kasus juga kerap hanya di hilir, sedangkan pelaku utama di hulu tidak tersentuh. " Pelaku pun terus mengulangi perbuatannya," ujarnya. Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), periode 2011-2015, putusan tertinggi kasus temuan obat tanpa izin edar oleh BPOM ialah pidana penjara 2 bulan dan denda Rp. 4 juta. Kasus ada di Yogyakarta, sementara putusan tertinggi untuk kasus obat tradisional tanpa izin edar ialah penjara 4 bulan 15 hari dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan penjara di Makassar.

Putusan tertinggi semua kasus yang dibawa BPOM kemeja hijau itu amat jauh dari ancaaman sesuai UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yakni penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp 1,5 Miliar bagi siapa saja yang memproduksi  sediaan farmasi tanpa izin edar dan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar bagi pembuat dan pengedar sediaan farmasi yang tak memenuhi standar, syarat keamanan dan kemanfaatan.

"Putusan tertinggi selama ini ialah untuk kasus kosmetik tanpa izin edar di Serang Banten, dengan putusan pidana dua setengah tahun," ujar Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Hendri Siswandi. Rendahnya vonis pengadilan itu, kata Hendri, diduga tak lepas dari kurang terampilnya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) BPOM menyusun berkas perkara. Terungkapnya pemalsuan vaksin saat ini menjadi momentum bagi BPOM untuk meningkatkan kompetensi PPNS-nya.

Terkait vaksin palsu, pada 2013 BPOM menindaklanjuti laporan temuan vaksin palsu yang didistribusikan sarana tidak berwenang. Sarana ilegal itu hanya dihukum denda Rp 1 juta, berdasar pasal 198 UU Kesehatan. Ditambahkan Parulian banyaknya vonis lembek itu diperburuk persepsi masyarakat yang menganggap semakin mahal harga obat makin bermutu.

Hukum Responsif

Pakar hukum kesehatan fakultas hukum universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Sabir Alwi, mendorong hakim mengacu hukum responsif dalam menangani kasus obat, termasuk vaksin palsu. Hukum responsif memandang hukum sebagai cara mencapai tujuan, melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang ditemukan.

Dengan demikian, hakim menyesuaikan dengan kondisi sosial yang berkembang agar menjatuhkan hukuman menjerakan. Hakim, selanjutnya, berwenang Otonom menjatuhkan hukuman lebih berat dibanding hukuman maksimal dalam regulasi yang ada. " Bisa,itulah otonomnya hakim yang tidak bisa diganggu gugat," ucap Sabir. Ia pun mendorong para hakim tidak dogmatis mengikuti aturan hukum, tetapi mampu melihat perkembangan dimasyarakat sehingga putusannya memberikan rasa keadilan.

Menurut Sabir, ketentuan hukum-hukuman dalam kitab undang-undang hukum pidana sudah jauh tertinggal dengan kondisi terkini sehingga para hakim diberi kewenangan Otonom dalam memberikan vaksin. Dalam kasus pemalsuan vaksin, pintu-pintu sudah terbuka untuk hakim memberikan vonis berat dan berefek jera bagi pelaku pembuat dan penyebar vaksin palsu. Hakim, juga semestinya bisa membaca, pemalsuan itu mengancam generasi penerus masa depan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Artikel Online is powered by Blogger